TRIBUNNEWS.COM - Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa, itulah pribahasa yang paling tepat diperuntukkan bagi grup rock legendaris God Bless yang dibangun tahun 1972 yang hingga kini masih menunjukkan eksisitesinya sebagai grup band rock terkemuka di Indonesia, juga di Asia Tenggara.
Dan terpaan-terpaan angin yang menggoyang bangunan God Bless itu sudah biasa, dan sering dialami dalam beragam bentuk. Sejak grup band rock ini dibangun berapa kali diterpa bongkar pasang pemain, termasuk harus kehilangan dua personilnya yaitu Fuad Hasan dan Soman Lubis, yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Bahkan sang ikon vokalis Achmad Albar pernah tersandung kasus hukum divonis hukuman 3 tahun 6 bulan. Ketika kasus ini mencuat dan sampai jatuhnya vonis hukuman, banyak yang memprediksi bahwa grup band ini bubar. Nyatanya terpaan angin inipun tidak lantas membuat bangunan grup band rock ini ambruk, tetap solid, dan makin menjulang tinggi.
Kini God Bless kembali mengalami terpaan angin kencang yang dihembuskan dari mulut mantan pensonilnya yaitu Yockie Suryo Prayogo, baik yang ditulis di dinding fb-nya, maupun oleh pernyataan apologinya yang dimuat di media online yang kemudian di-share kemana-mana, dengan beragam reaksi dan komentarnya. Termasuk wawancara berjilid Yockie yang dimuat di Kompas.com, yang menurut penulis sudah tidak sehat secara etika jurnalistik, dan mengarah ke tendensius. Tapi biarlah semua itu urusan redaksional, biar pembaca menilai secara jernih dan objektif.
Dalam artikel ini, penulis sengaja tidak memberi reaksi komentar atas pemberitaan atau pernyataan apologi yang dilontarkan Yockie. Atau disini penulis juga tidak bermaksud menjadi pembela God Bless. Tapi apa yang penulis tulis di Tribunnews.com adalah fakta historis peristiwa 9 tahun lalu, bukan hasil rekayasa argumentatif pembenaran. Sebagai wartawan, penulis harus memberitakan yang benar berdasar fakta, tidak ada rekayasa pamrih kepentingan. Marilah dalam persoalan ini kita sikapi secara arif.Kita tidak perlu mencari justifikasi siapa yang benar, siapa yang salah.. atau siapa yang menang, siapa yang kalah, biarlah fakta yang akan meng-adil-i.
Justru di sini penulis ini meletakkan secara proposional sosok apa dan siapa God Bless dalam konteks sebuah grup band. Kebetulan dulunya penulis pernah bekerja di Persda Kompas-Gramedia (kini Tribunnews) sebagai wartawan yang peliput hiburan/musik. Dan di tabloid musik Rock. Kebetulan pula, saat ini penulis juga sedang menyelesaikan tulisan buku God Bless.
Apa yang kini menimpah God Bless tak lebih sebagaimana dalam pribahasa; semakin tinggi pohon, semakin angin menerpa. Sehingga kita pun untuk menyikapi lebih arif wicaksana, tidak tergiring atau termakan provokasi, lalu menjadi pembela konflik kepentingan (conflict of interest) atas dalih ‘kebenaran’ atau ‘pembenaran’. Kalau kita runut apa yang terjadi sebenarnya bermula dari konflik egoisme personal di intern tubuh God Bless kala itu, yang kemudian bergulir sebagaimana disinyalir adanya todongan pistol, etika hak cipta, gak melek hukum, atau honor royalty performing right?
Awal terbentuk grup band ini dibidani oleh Fuad Hasan (alm), Donny Fattah, dan Achmad Albar. Dalam kiprahnya di jagad musik, pencitraan God Bless sendiri tidak lepas dari sosok sang vokalis Achmad Albar sebagai ikon alias trade mark God Bless. Sehingga muncul pencitraan bahwa God Bless identik Achmad Albar, dan sebaliknya. Termasuk God Bless tanpa Achmad Albar ya bukan God Bless, sampai segitunya.
Sebagai salah seorang pendiri yang dituakan secara usia, dan ikon band, wajarlah jika Achmad Albar punya hak voting yang terkait eksistensi God Bless. Hak voting ini pernah ia keluarkan untuk tidak lagi melanjutkan proyek rekaman album yang sedang berjalan gara-gara terjadi pengubahan konsep aransemen musik. Ini menunjukkan begitu kuat citraan, personality Achmad Albar dan juga power sebagai ikon God Bless yang kharismanya tidak mungkin diambil alih oleh personil God Bless yang lain. Apa itu Donny Fattah, Yockie Suryo Prayogo maupun Ian Antono, meski ketiga nama ini banyak memberi warna dan aksestuasi pada musik God Bless. Tapi tetap saja citraan God Bless ada pada Achmad Albar sebagai ikon.
Apa yang menimpah God Bless dalam kasus ini hanyalah terpaan angin kencang yang membuatnya semakin melambai dan melambung, bukan merupakan badai angin putting beliung Tornado yang bisa memporakporandakan dan menghancurkan bangunan God Bless. Kalaupun diibaratkan peledakan bom, inipun hanyalah implusif berdaya ledak rendah yang tidak berakibat fatal bagi yang disasaran, malahan bisa berimbas menjadi bom bunuh diri pelakunya. Kalaupun diibaratkan gempa bumi, inipun hanyalah gempa bumi berskala richter rendah yang tidak sampai berpotensi menimbulkan gelombang tsumani yang menghancurkan bangunan God Bless. Biasa, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Kali ini angin yang menerpa itu datangnya dari ‘angin sakit hati’ mantan personil God Bless sendiri, Ycokie Suryo Prayogo.
Sekali lagi, marilah persoalan ini kita sikapi secara arif, dan tidak saling menjustifikasi atau berapologia untuk mencari ‘kebenaran’ atau ‘pembenaran’ siapa yang benar dan salah, atau kalah menang. Biarlah fakta dan waktu yang akan bicara, bukan dalih komentar argumentasi atas ‘kebenaran’ dan ‘pembenaran’ diri.
Marilah dalam konteks ini kita juga lebih meletakkan keberadaan God Bless pada porsinya sebagai grup band legendaries, ketimbang menyoal perseteruan kadaluwarsa 9 tahun silam antar intern personal God Bless. Karena sebagai grup band legendaris, God Bless itu sendiri kini ibarat cagar budaya musik yang harus kita jaga, lindungi, rawat, dilestarikan, dan diapresiasi sebagai aset musik Indonesia.
Alex Palit: Pendiri Forum Apresiasi Musik Indonesia (Formasi), saat ini sedang menyelesaikan tulisan buku God Bless.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar